Menjadi Sarjana Ilmu Keibuan


Sewaktu sarapan di sebuah warung pagi tadi bersama Fafa dan abinya, di sebelah kanan saya ada seorang ibu yang juga sedang makan bersama putranya yang sudah duduk di bangku taman kanak-kanak (soalnya pake seragam). Selama makan tak hentinya saya mendengar si ibu membentak-bentak si anak. Rasanya kok saya jadi kasihan gitu sama si anak tersebut.
Seketika itu juga saya introspeksi diri saya sendiri. Astaghfirullah…, jangan-jangan saya juga pernah melakukan hal serupa, sampai ada yang kasihan dengan anak saya. Tapi saya rasa tidak. Setahu saya tidak.
Di waktu lain saya melihat sebuah acara di televisi sedang membahas tentang Anak Berkebutuhan Khusus. Spesifiknya kasus autisme. Ternyata ada sekolah untuk para ibu yang memiliki ABK. Meskipun ada pusat terapi, tetapi yang paling penting tetap kesabaran seorang ibu menghadapi anaknya.
Memang menjadi ibu adalah belajar yang tidak berkesudahan. Kalau bahasa kerennya ‘never ending tarbiyah’ lah.
Saya juga cukup merasakan betapa miskin ilmu saya, padahal baru memiliki satu anak. Ketika harus menghadapi kondisi anak sakit, ketika meladeni pertanyaan yang tidak ada habisnya, ketika si kecil sedang ngambek dn mogok, ketika dan ketika.
Dan ternyata, ibaratnya sebuah universitas kehidupan, saat ini saya sedang kuliah di fakultas keibuan. Saya anggap putri kecil saya yang suka ngambek itu adalah dosen pribadi saya. Dan saya lebih memilih jurusan menjadi ummi yang baik.
SKS yang 24jam sehari ini semoga bisa menghantarkan saya mencapai IPK terbaik di hadapan Allah nanti, dan lulus sebagai Sarjana Ilmu Keibuan dengan predikat summa cumlaude. aamiiin….

Leave a comment